Semarang, Kontak Perkasa Futures - Bursa saham dan mata uang kompak menguat pada perdagangan Senin awal pekan ini (26/7/2021) meski pasar obligasi masih variatif. Hari ini, pasar sangat memerlukan sentimen tambahan guna melanjutkan penguatan, salah satunya dari pertemuan pejabat Amerika Serikat (AS) dan China.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup naik tipis, sebesar 0,08%, ke 6.106,39, setelah pada perdagangan sesi I menguat 0,14% di level 6.110,18. Dari nilai transaksi Rp 11,2 triliun, investor asing mencetak jual bersih (net sell) sebesar Rp 213 miliar di pasar reguler.
Sebanyak 241 saham naik, 264 lain turun dan 144 sisanya flat. Saham bank buku IV melemah, seperti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), masing-masing sebesar 1%, 0,5%, dan 2,9%.
Namun, saham berbasis pertumbuhan seperti komoditas dan teknologi menguat di antaranya PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM), PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR), masing-masing dengan reli sebesar 0,4%, 0,6%, dan 19,6%.
Penguatan IHSG terjadi setelah pemerintah melonggarkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4, meski secara resmi memperpanjang statusnya. Pasar merespons positif keputusan itu karena aktivitas bisnis diperbolehkan dibuka asalkan dengan protokol ketat.
Di kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah berada di level Rp 14.494/dolar Amerika Serikat (AS) atau menguat 0,05% dibandingkan posisi akhir pekan lalu.
Sementara itu di pasar spot, nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar AS, melanjutkan penguatan tipis yang dicetak sepanjang pekan lalu sebesar 0,03%. Pada sesi penutupan, US$ 1 dibanderol Rp 14.480/US$, alias menguat 0,07%.
Meski demikian, apresiasi itu cukup untuk membawa rupiah menjadi yang terbaik kedua di Asia. Rupiah hanya kalah kuat dari mata uang Jepang.
Namun, harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup bervariasi. Sikap investor belum solid benar untuk meninggalkan aset minim risiko (safe haven) tersebut, ditandai dari beragamnya pergerakan imbal hasil (yield) SBN.
SBN bertenor 1, 3, 5, dan 15 tahun masih ramai diburu investor, ditandai dengan penurunan yield dan kenaikan harga. Aksi beli terutama terjadi di SBN berjatuh tempo terpendek (1 tahun), yang imbal hasilnya anjlok terparah, sebesar 2 basis poin (bp).
Yield SBN bertenor 10 tahun-yang merupakan acuan pasar-berbalik naik 1,6 basis poin (bp) ke 6,314%. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi turun, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan bp setara dengan 1/100 dari 1%.
Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/market/20210727061140-17-263844/berharap-sentimen-positif-dari-pertemuan-as-china
Komentar
Posting Komentar