Semarang, Kontak Perkasa Futures - Krisis listrik mulai mengancam Singapura. Pasalnya, sejumlah perusahaan penyedia listrik di Negeri Singa tersebut mulai bertumbangan, termasuk salah satu pengecer listrik independen terbesar, iSwitch Energy.
Bukan saja iSwitch, Ohm Energy juga memutuskan menghentikan operasi mereka di Singapura dengan alasan pasar listrik yang bergejolak.
Ohm Energy akan mentransfer semua rekening pengguna ke SP Group,
perusahaan listrik milik negara di Singapura, Oktober. Sementara itu,
iSwitch Energy, salah satu pengecer listrik independen terbesar di
Singapura, mengatakan di situs webnya bahwa mereka akan menghentikan
operasi ritel listrik pada 11 November.
Permintaan listrik yang lebih tinggi dari biasanya terjadi di Singapura, dengan permintaan tertinggi sebesar 7.667 Mega Watt (MW) yang tercatat pada 12 Oktober. Sayangnya, permintaan ini tidak didukung oleh pasokan energi untuk pembangkit listrik yang memadai, sehingga harga listrik menjadi mahal.
Untuk diketahui, Singapura bergantung pada gas untuk pembangkit listrik. Dengan demikian, sangat sensitif terhadap persediaan gas.
Masalahnya, pasokan gas Singapura juga terganggu. Otoritas Energi Singapura (EMA) menyebut ada pembatasan gas alam perpipaan dari West Natuna dan rendahnya gas yang dipasok dari Sumatera Selatan yang mengganggu pasokan gas untuk produksi listrik.
"Lonjakan baru-baru ini dapat dikaitkan dengan sejumlah faktor, termasuk permintaan listrik yang lebih tinggi dari biasanya, pemadaman beberapa unit pembangkit, pembatasan gas dari Natuna Barat, serta tekanan pendaratan yang rendah dari gas yang dipasok dari Sumatera Selatan," kata EMA, melansir Reuters, beberapa waktu lalu.
Gangguan pasokan gas dibenarkan oleh Julis Wiratno, Deputi Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK) Migas. Namun saat ini, ia berujar seharusnya semua sudah kembali normal.
"Distribusi gas pada September sudah mulai membaik, dibandingkan Juli yang mengalami gangguan produksi, namun belum kembali normal seperti awal tahun ini. Hal ini disebabkan penurunan laju produksi gas di salah satu lapangan" katanya kepada CNBC Indonesia.
Sementara itu, saat dikonfirmasi CNBC Indonesia, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan sebenarnya masalah krisis energi Singapura adalah kombinasi. Namun memang pasokan RI mendominasi.
"Sekitar 60% pasokan gas mereka dari Indonesia," tegasnya.
Bila ditelaah mundur, memang ada "gangguan" dari RI pada bulan Juli terutama disebabkan oleh penghentian yang tidak direncanakan di lapangan Anoa dan pemeliharaan terencana di lapangan Gajah Baru, keduanya terletak di Natuna. SKK Migas kala itu mengatakan produksi di Natuna turun 27,5% dari puncak sebelumnya menjadi 370 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).
Berdasarkan data SKK Migas pada 2020, setidaknya ada tiga kontrak ekspor gas RI ke Singapura dengan pasokan minimal sekitar 700 MMSCFD, yakni satu kontrak ekspor gas pipa ke GSPL Singapura, dua kontrak ekspor gas pipa ke SembGas.
Singapura sendiri adalah tujuan ekspor gas alam terbesar Indonesia. Dikutip dari data BPS (Badan Pusat Statistik), sepanjang Januari-Juli 2021 Indonesia mengekspor US$ 1,45 miliar atau Rp 20,43 triliun (kurs Rp 14.075).
Jumlah ini naik 50,75% dari periode yang sama tahun 2020. Jumlah ekspor gas alam ke Singapura setara dengan 40% dari total ekspor gas alam Indonesia.
Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/news/20211103083048-4-288580/bukan-hoax-gara-gara-ri-singapura-bisa-gelap-gulita
Komentar
Posting Komentar