Semarang, PT Kontak Perkasa Futures - Rupiah sudah 11 hari tidak pernah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga Jumat pekan lalu. Nasib rupiah bukannya membaik, malah makin jeblok di awal pekan ini, Senin (6/12).
Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka rupiah langsung merosot 0,24% ke Rp 14.430/US$. Depresiasi rupiah makin bertambah menjadi 0,31% ke Rp 14.435/US$ pada pukul 9:117 WIB, yang merupakan level terlemah sejak 20 Agustus lalu.
Setidaknya ada dua hal yang bakal memberatkan rupiah, kemungkinan bank sentral AS (The Fed) lebih agresif dalam menormalisasi kebijakannya serta virus corona varian Omicron yang belum diketahui sebesar besar dampaknya bagi perekonomian global.
Hal tersebut memicu capital outflow yang besar, sehingga rupiah kesulitan untuk menguat.
Bank Indonesia (BI) mencatat non-residen di pasar keuangan Tanah Air jual neto Rp 12,5 triliun hanya dalam 4 hari saja pada periode 29 November hingga 2 Desember.
"Dari jumlah tersebut, aliran modal asing yang keluar dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 9,82 triliun dan jual neto di pasar saham sebesar Rp 2,68 triliun," kata Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam laporan resminya, Jumat (3/12).
The Fed akan mengumumkan kebijakan moneter pada 15 Desember (Kamis 16 Desember dini hari waktu Indonesia), dan ada kemungkinan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) akan dipercepat.
Ketika tapering dipercepat, maka suku bunga kemungkinan juga akan dinaikkan lebih awal, hal tersebut memicu capital outflow di pasar SBN.
Dalam menetapkan kebijakan moneter, The Fed menggunakan data inflasi dan tenaga kerja sebagai acuannya. Inflasi di Amerika Serikat saat ini sudah berada di level tertinggi dalam 30 tahun terakhir. Sehingga menjadi alasan kuat bagi The Fed untuk segera menomalisasi kebijakannnya guna meredam inflasi.
Sementara untuk pasar tenaga kerja, pada Jumat pekan lalu, (non-farm payroll/NFP) hanya sebanyak 210.000 orang di bulan November, sangat jauh di bawah ekspektasi Dow Jones sebesar 573.000 orang.
Data NFP tersebut mengalami pelambatan yang signifikan jika dibandingkan bulan sebelumnya 546.000 orang.
Meski demikian, tingkat pengangguran turun menjadi 4,2% dari sebelumnya 4,6%, bahkan saat angkatan kerja bertambah. Kemudian dalam 12 bulan terakhir, rata-rata upah per jam naik 4,8%.
Data tersebut dikatakan cukup bagi bank sentral AS (The Fed) untuk mempercepat tapering, serta menaikkan suku bunga lebih awal.
Hal tersebut terus memberikan tekanan bagi rupiah hingga 11 hari tak pernah menguat melawan dolar AS, bahkan kini menuju hari ke-12.
Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/market/20211206092052-17-296844/rp-12-t-raib-dari-pasar-finansial-ri-rupiah-makin-jeblok
Komentar
Posting Komentar